MERANCANG, MELAKSANAKAN, DAN MENILAI HASIL BELAJAR BERBASIS HOTS

MERANCANG, MELAKSANAKAN, DAN MENILAI HASIL BELAJAR BERBASIS HOTS
Oleh:
IDRIS APANDI
(Widyaiswara Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan/LPMP Jawa Barat)

Baru-baru ini di media sosial viral cuitan peserta UNBK tahun 2018 jenjang SMA yang mengeluhkan sulitnya soal mata pelajaran matematika dan kimia. Atas hal ini,  Mendikbud Muhadjir Effendi memohon maaf karena memang tingkat kesulitan soal dinaikkan dan telah menerapkan Higher Order Thinking Skills (HOTS). Dari 40 soal yang diujikan, ada 4-5 soal yang masuk kategori “sulit” dan menuntut kemampuan analisis yang tinggi.
Hal ini dilakukan dalam rangka meningkatkan daya saing siswa mengingat dalam beberapa hasil olimpiade internasional baik yang diselenggarakan oleh PISA maupun PIRLS, siswa Indonesia tertinggal dari negara-negara lain, karena kesulitan mengerjakan soal-soal olimpiade. Walau demikian, Mendikbud berjanji akan mengevaluasi dan terus akan melakukan pembenahan.

Tujuan Kemdikbud untuk menaikkan tingkat kesulitan soal pada dasarnya baik. Dengan mengerjakan soal-soal HOTS, diharapkan daya analisis dan kemampuan berpikir kritis siswa dapat terasah. Hal ini juga adalah bagian dari penerapan pendidikan karakter, dimana siswa pantang menyerah dan sungguh-sungguh dalam mengerjakan soal. Walau demikian, perlu juga dilihat kondisi nyata bahwa banyak guru yang belum menerapkan kegiatan pembelajaran dengan berbasis HOTS, sedangkan pada saat UBNK para siswa ujug-ujug harus mengerjakan soal-soal HOTS. Oleh karena itu, sangat wajar siswa mengalami kesulitan ketika mengerjakannya.

Sebelum pemerintah meminta guru menyusun soal-soal HOTS, alangkah baiknya jika kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran berbasis HOTS pun ditingkatkan terlebih dahulu, karena penilaian pada dasarnya dilakukan untuk mengetahui ketercapaian indikator dari materi yang telah diajarkan kepada siswa.

Pembelajaran berbasis HOTS sebenarnya sudah diperkenalkan sejalan dengan diimplementasikannya kurikulum 2013, tetapi pada kenyataannya masih banyak yang belum paham dan belum melaksanakannya. Hal ini disebabkan karena pada saat pelatihan, para instruktur hanya menyampaikan teori-teori tentang pembelajaran HOTS tanpa disertai dengan contoh atau prakteknya, sehingga peserta masih ada yang bingung.

Pada dasarnya jika masalah HOTS ini ingin dikuasai secara utuh dan menyeluruh, maka guru harus dilatih secara sistematis mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga cara menilai hasil belajar siswa. Pada tahap perencanaan, guru diwajibkan menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dimana guru menelaah Kompetensi Dasar (KD) yang diharapkan dikuasai oleh siswa, lalu merumuskan Indikator Ketercapaian Kompetensi (IKK) dengan menggunakan Kata Kerja Operasional (KKO) yang dapat diukur, utamanya pada aspek kognitif dan psikomotor. Satu indikator hanya berisi satu KKO. Sedangkan pada aspek sikap, penilaiannya melalui observasi sebagai instrumen penilaian yang utama, sedangkan jurnal, penilaian diri, penilaian antarteman sebagai instrumen penunjang.

Pada saat menyusun IKK, guru biasanya memperhatikan Taksonomi Bloom (1956) yang telah direvisi oleh Krathwohl dan Anderson (2001). Pada ranah kognitif (cognitive) susunannya sebagai berikut; (1) mengingat, (2) memahami, (3) mengaplikasikan, (4) menganalisis, (5) mengevaluasi, dan (6) mencipta.

Pada ranah afektif (affective), susunan sebagai berikut; (1) menerima, (2) merespon, (3) menghargai, (4) mengorganisasikan, dan (5) karakterisasi menurut nilai. Dan pada ranah psikomotor (psychomotor) susunannya sebagai berikut; (1) meniru, (2) memanipulasi, (3) presisi, (4) artikulasi, dan (5) naturalisasi.

Dari kata-kata kunci pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotor, dikembangkan lagi ke dalam ratusan KKO yang disesuaikan dengan IKK yang dicapai pada tiap KD. Sesuai dengan harapan Kemdikbud bahwa siswa dibelajarkan dalam situasi HOTS, maka pemilihan KKO bukan hanya pada level C-1 sampai dengan C-3 saja, tetapi diupayakan pada leval C-4 sampai dengan C-6. Hal ini berlaku mulai dari jenjang SD, SMP, sampai dengan SMA/SMK.

Penentuan KKO dan IKK yang menerapkan HOTS memang bukan hal yang mudah bagi guru, karena harus mempertimbangkan beberapa faktor seperti latar belakang dan tingkat kemampuan berpikir siswa, karena sebuah IKK bagi siswa tertentu bisa saja termasuk HOTS, tetapi bagi siswa yang lain dianggapnya LOTS (Lower Order Thinking Skills/Kemampuan berpikir tingkat rendah). Bagi sekolah yang ada di kampung mungkin saja membelajarkan LOTS kepada siswa pun masih sulit, apalagi kalau HOTS. Ini memang butuh proses dan butuh adaptasi setelah sekian lama pembelajaran di ruang-ruang kelas hanya diisi dengan metode-metode ceramah, drill, dan hapalan-hapalan.

Misalnya pada mata pelajaran PPKn kelas VII SMP, KD 3.1. Menganalisis proses perumusan dan penetapan Pancasila sebagai Dasar Negara. Maka KD tersebut dapat dijabarkan menjadi satu atau lebih indikator misalnya: (a) siswa mampu menelaah proses perumusan dan penetapan Pancasila sebagai dasar negara (C-4), (b) siswa dapat membandingkan pelaksanaan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari (C-5).

Dengan menyusun IKK tersebut, guru berharap keterampilan berpikir analitis-kritis siswa menjadi muncul dan terasah, bukan hanya sekedar mengetahui atau menghapal teks Pancasila saja, tetapi memiliki kemampuan yang lebih tinggi.  Oleh karena itu, guru pun merancang model atau metode apa yang cocok dilakukan dalam pembelajaran untuk mencapai IKK yang telah ditetapkan, misalnya dengan menggunakan pembelajaran kontekstual (CTL), modelling, demonstrasi, bermain peran, mencari dan menemukan (inquiry and discovery), studi kasus, pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran berbasis proyek, dan sebagainya.

Selain itu, guru pun menetapkan media pembelajaran atau alat peraga apa yang digunakan untuk membantu memperjelas penyampaikan materi pelajaran. Apa saja sumber belajar yang digunakan dan apa jenis dan bentuk penilaian yang dilakukan untuk mengukur ketercapaian indikator. Semua hal tersebut tergambar jelas pada RPP.

Pada saat pembelajaran, guru melaksanakan desain yang telah disusun pada RPP. Sebagaimana diketahui, pada kurikulum 2013, guru diharapkan menerapkan pendekatan saintifik (ilmiah) yang terdiri dari 5 M, yaitu; (1) mengamati, (2) menanya, (3) mengumpulkan informasi, (4) menalar/ mengasosiasikan, dan (5) mengomunikasikan. Kelima hal tersebut bukanlah suatu hal yang sistematis, dan harus ada dalam setiap pembelajaran, tetapi disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan karakteristik materi pelajaran yang dipelajari oleh siswa. Penerapan pendekatan saintifik diharapkan dapat mewujudkan pembelajaran berbasis HOTS. 

Untuk menciptakan kondisi pembelajaran yang menantang dan menyenangkan, maka kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran sangat dibutuhkan. Sejumlah kemampuan dasar guru dalam mengelola pembelajaran sebagaimana disampaikan oleh Allen dan Ryan (1987) dalam Rusman (2013 : 117-119) antara lain: (a) kemampuan membuka pelajaran, (b) kemampuan memberikan stimulus, (c) kemampuan bertanya, (d) kemampuan menggunakan isyarat, (e) kemampuan menggunakan ilustrasi/contoh, (f) kemampuan berkomunikasi, (g) kemampuan memberikan penguatan atau umpan balik, dan (h) keterampilan menutup pelajaran. Berbagai kemampuan tersebut perlu  terus dilatih dan dikuatkan baik kepada calon guru maupun guru yang telah mengajar sebagai upaya untuk mewujudkan guru profesional.

Pada saat pembelajaran, guru tentunya diharapkan menerapkan model atau metode yang telah ditetapkannya dalam RPP. Biasanya guru dominan menggunakan metode ceramah. Bukan berarti guru tidak boleh ceramah, karena ceramah tidak dapat dihindari dalam pembelajaran. Disamping ceramah, guru diharapkan menggunakan model dan metode yang lebih variatif, mengarah kepada pembelajaran kooperatif, komunikatif, kolaboratif, kreatif dan inovatif, membangun keterampilan berpikir kritis, serta menyelesaikan masalah sesuai dengan tuntutan kompetensi abad 21.

Pada saat pembelajaran, guru pun diharapkan terampil menggunakan media pembelajaran/ alat peraga yang tepat. Hasil riset BAVA (British Audio Visua Aids) memaparkan bahwa hasil pembelajaran yang tidak menggunakan media hanya 13% dari keseluruhan materi yang telah diberikan. Dengan menggunakan media pembelajaran, perolehan bahan ajar yang diseerap dapat ditingkatkan hingga 86%. (Rusman, 2013 : 223-124).

Setelah pembelajaran selesai, guru melaksanakan penilaian hasil belajar. Tujuannya untuk mengetahui ketercapaian indikator yang telah ditetapkan pada RPP.  Pada awal tahun pelajaran, guru menetapkan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) sebagai acuan dalam kegiatan penilaian hasil belajar. Saat ini guru diharapkan melaksanakan penilaian otentik, yaitu penilaian yang menilai ranah kognitif, afektif, dan psikomotor secara utuh dan menyeluruh dengan menggunakan instrumen test yang relevan.

Dalam penilaian otentik, guru didorong untuk menulis soal HOTS. Walau demikian, perlu digarisbawahi bahwa soal HOTS tidak identik dengan soal yang panjang, sulit, dan berbelit-belit, tetapi soal yang meminimalkan aspek ingatan atau pengetahuan, bersifat kontekstual, memproses dan menerapkan informasi, mencari kaitan diantara informasi yang berbeda, menggunakan informasi untuk menyelesaikan masalah, dan menelaah informasi secara kritis. (Kemdikbud, 2016).

Jenis instrumen test yang digunakan beragam. Bisa tes tertulis, test lisan, atau tes kinerja. Test tertulis bisa dalam bentuk pilihan ganda, isian singkat, atau essai. Tes lisan dilakukan dimana guru menyiapkan sejumlah pertanyaan untuk ditanyakan secara langsung kepada siswa, dan tes kinerja dilakukan dengan menyiapkan instrumen yang berisi sejumlah rubrik kesesuaian antara instruksi dengan yang dipraktekkan siswa, misalnya pada mata pelajaran olah raga, seni, PAI, IPA, atau komputer. Wallaahu a’lam.

Comments

Popular Posts