ETNOMETODOLOGI DALAM PENELITIAN KUALITATIF
I. Pengantar
Metodologi adalah persoalan penting dalam ilmu pengetahuan atau sains. Ilmu pengetahuan secara defenitif dimengerti sebagai pengetahuan yang sistematis. Dan untuk memperoleh pengetahuan yang sistematis ini, setiap ilmuwan membutuhkan metodologi. Metodologi merupakan cara-cara yang ditetapkan dengan logika tertentu untuk melihat realitas atau fenomena oleh para ilmuwan
.
Dalam khasanah penelitian ilmu-ilmu sosial, kita menemukan berbagai ragam pendekatan. Pertama-tama hal disebabkan oleh objek penelitian ilmu sosial yaitu masyarakat adalah sebuah sebuah fakta yang sangat kompleks. Alasan lainnya adalah munculnya ketidakpuasan dari seseorang atau beberapa pakar yang merasa tidak puas dengan pendekatan tertentu. Ketidakpuasan ini lalu memicu mereka untuk menemukan model pendekatan baru yang dianggap paling baik.
Kita mengenal dua metodologi penelitian yang pokok dalam ilmu-ilmu sosial yaitu pendekatan kuantitaif dan kualitatif. Secara epistemologis, kuantitatif adalah turunan dari postivisme. Positivisme merupakan sebuah paham dalam ilmu pengetahuan dan filsafat yang berasumsi bahwa pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang didasarkan pada fakta-fakta positif yang diperoleh melalui proses penginderaan. Metode kuantitatif sangat menekankan pada objektivisme dan penggunaannya menggunakan alat bantu statistik. Penelitian kuantitatif yang paling termasyur dalam sosiologi berasal dari Emile Durkheim. Sementara metode kualitatif secara epistemologis adalah turunan dari rasionalisme. Metode kualitatif menekankan pada subjektivisme. Dalam sosiologi, Webberlah yang dianggap sebagai peletak dasar metode kualitatif ini
.
Metode kualitatif ini memiliki beberapa varian berdasarkan landasan teoritiknya yaitu, fenomenologi, interaksionisme simbolik, etnometodologi dan etnografi. Keempat varian ini memiliki sebuah kesamaan dasar yaitu memberikan tekanan pada pengalaman individu atau subjek dalam menjalani dunia keseharian mereka. Paper ini secara khusus akan mendiskusikan etnometodogi dalam khasanah penelitian ilmu sosial yaitu penelitian kualitatif.
II. Etnometodologi
II.1. Sejarah Ringkas Munculnya Etnometodologi
Etnometodologi sendiri adalah suatu studi tentang praktek sosail keseharian yang diterima secara taken for granted berdasarkan akal sehat (common sense). Etnometodologi mulai berkembang di tahun 1950 dengan tokoh penggagasnya adalah Harold Garfinkel. Garfinkel sendiri adalah dosen pada UCLA di West Coast. Akan tetapi baru dikenal oleh kalangan luas (oleh profesi-profesi lain) pada akhir 1960-an dan awal 1970-an ( Poloma : 1994 : 281). Garfinkel memunculkan etnometodologi sebagai bentuk ketidaksetujuannya terhadap pendekatan-pendekatan sosiologi konvensional yang dianggapnya mengekang kebebasan peneliti. Penelitian konvesional selalu dilengkapi asumsi, teori, proposisi dan kategori yang membuat peneliti tidak bebas di dalam memahami kenyataan sosial menurut situasi di mana kenyataan sosial tersebut berlangsung.
Garfinkel sendiri medefenisikan etnometodologi sebagai penyelidikan atas ungkapan-ungkapan indeksikal dan tindakan-tindakan praktis lainnya sebagai kesatuan penyelesaian yang sedang dilakukan dari praktek-praktek kehidupan sehari-hari yang terorganisir. Etnometodologi Grafinkel ditujukan untuk meneliti aturan interaksi sosial sehari-hari yang berdasarkan akal sehat. Apa yang dimaksudkan dengan dunia akal sehat adalah sesuatu yang biasanya diterima begitu saja, asumsi-asumsi yang berada di baliknya dan arti yang dimengerti bersama. Inti dari etnometologi Granfikel adalah mengungkapkan dunia akal sehat dari kehidupan sehari-hari (Furchan, 1992 : 39-41).
Dalam prakteknya, etnometodogi Grafinkel menekankan pada kekuatan pengamatan atau pendengaran dan eksperimen melalui simulasi. Pengamatan atau pendengaran digunakan Grafinkel ketika melakukan penelitian pada sebuah toko. Di sana Grafinkel mengamati setiap pembeli yang keluar dan masuk di toko tersebut serta mendengar apa yang dipercakapkan orang-orang tersebut. Seementata untuk eksperimen (simulasi), Grafinkel melakukan beberapa latihan pada beberapa orang. Latihan ini terdiri dari beberapa sifat, yaitu responsif, provokatif dan subersif. Pada latihan responsif yang ingin diungkap adalah bagaimana seseorang menanggapi apa yang pernah dialaminya. Pada latihan provokatif yang ingin diungkap adalah reaksi orang terhadap suatu situasi atau bahasa. Sementara latihan subersif menekankan pada perubahan status atau peran yang biasa dimainkan oleh seseorang dalam kehidupan sehari-harinya. Pada latihan subersif, seseorang diminta untuk bertindak secara berlainan dari apa yang seharusnya dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Latihan pertama (responsif) adalah meminta orang-orang tersebut menuliskan apa yang pernah mereka dengar dari para familinya lalu membuat tanggapannya. Latihan kedua (provokatif) dilakukan dengan meminta orang-orang bercakap-cakap dengan lawannya dan memperhatikan setiap reaksi yang diberikan oleh lawan mereka tersebut. Sementara latihan ketiga (suberrsif) adalah menyuruh mahasiswanya untuk tinggal di rumah mereka masing-masing dengan berprilaku sebagai seorang indekos. Lewat latihan-latihan ini orang menjadi sadar akan kejadian sehari-hari yang tidak pernah disadarinya. Latihan ini adalah strategi dari Grafinkel untuk mengungkapkan dunia akan sehat, sebuah dunia yang dihidupi oleh masing-masing orang tanpa pernah mempertanyakan mengapa hal tersebut harus terjadi sedemikian.
Sesudah Grafinkel muncullah beberapa pakar yang mengembangkan studi etnometodologi di antaranya Jack Douglas, Egon Bittner, Aaron Cicourel, Roy Turner, Don Zimmerman dan D. Lawrence Wieder. Di antara para pakar ini Jack Douglaslah yang paling lengkap pembahasan etnometodologinya. Douglas menggunakan etnometodologi untuk menyelidiki proses yang digunakan para koroner (pegawai yang memeriksa sebab-musabab kematian seseorang untuk menentukan suatu kematian sebagai akibat bunuh diri. Douglas mencatat bahwa untuk menentukan hal itu , koroner harus menggunakan pengertian akal sehat yaitu apa yang diketahui oleh setiap orang tentang alasan orang bunuh diri sebagai dasar menetapkan adanya unsur kesengajaan ( Furchan, 1992 : 39). Di sini seorang koroner mengumpulkan bukti-bukti berupa peritiwa hidup (hari-hari terakhir) dari seseorang yang mati tersebut mengenai apakah ia mengalami peristiwa yang memungkinkan ia bunuh diri atau tidak. Jika ia tidak menemukan bukti-buktinya maka ia akan menyimpulkan bahwa kematian tersebut bukanlah suatu tindakan bunuh diri, pada hal mungkin saja ia telah melakukan bunuh diri. Atau sebaliknya, jika ia menemukan bukti maka ia akan menyimpulkan bahwa kematian tersebut adalah suatu tindakan bunuh diri pada hal belum tentu seseorang melakukan tindakan bunuh diri. Pendekatan ini sangat berbeda dengan apa yang pernah dilakukan oleh Durkheim tentang bunuh diri (suicide) yang dilakukannya dengan pendekatan statistikal. Di sini tampaklah bahwa etnometodologi adalah suatu studi atas realitas kehidupan manusia atau masyarakat yang secara radikal menolak pendekatan-pendekatan sosiologi konvensional sebagaimana yang telah disentil di bagian pengantar di atas.
II.2. Etnometodologi Dalam Terang Perspektif Sosiologi Lainnya
Etnometodologi dapat didefenisikan sebagai suatu cabang dari studi sosiologi itu sendiri. Seperti yang telah dikemukakan di atas, etnometodologi sebagai sebuah cabang studi sosiologi berurusan dengan pengungkapan realitas dunia kehidupan (lebenswelt) dari individu atau masyarakat. Sekalipun etnometodologi oleh beberapa pakar dipandang sebagai sebuah studi pembaharuan dalam sosiologi, etnometodologi memiliki kesamaan dengan beberapa pendekatan sosiologi sebelumnya yaitu fenomenologi, interaksionis simbolik dan Talcott Parsons (Poloma, 1994 : 283 & Coulon, 2003 : 1).
Grafinkel di saat awal memunculkan atau mengembangkan studi ini sedang mendalami fenomenologi Alfred Schutz pada New School For Social Research. Terdapat dugaan kuat bahwa fenomenologi Schutz sangat mempengaruhi etnometodologi Grafinkel. Ini terbukti dari asumsi sekaligus pendirian dari etnometodologi itu sendiri. Bagi Schutz, dunia sehari-hari merupakan dunia inter subjektif yang dimiliki bersama orang lain dengan siapa kita berinteraksi. Dunia inter subjektif itu sendiri terdiri dari realitas-realitas yang sangat berganda di mana realitas sehari-hari tampil sebagai realitas yang utama. Schutz memberikan perhatian pada dunia sehari-hari yang merupakan common sense. Realitas seperti inilah yang kita terima secara taken for granted di mana kita mengesampingkan keragu-raguan, kecuali realitas yang dipermasalahkan. Yang dimaksudkan dengan realitas sosial oleh Schutz adalah,
“keseluruhan objek dan kejadian-kejadian di dunia kultural dan sosial, yang dihidupan oleh pikiran umum manusia yang hidup bersama dengan sejumlah hubungan interaksi. Itu adalah dunia objek kultural dan institusi sosial di mana kita semua lahir, saling mengenal, berhubungan (...) Sejak permulaan, kita, para aktor di atas panggung sosial, menjalani dunia sebagai suatu dunia budaya sekaligus dunia alam, bukan sebagai suatu dunia pribadi, tetapi dunia antar subjektif, artinya sebagai suatu dunia yang umum untuk kita semua yang dibentangkan di hadapan kita atau yang secara potensial dapat dinikmati oleh siapa saja dari kita; dan ini berimplikasi pada komunikasi dan bahasa.” (Sebagaimana yang dikutip Coulon, 2003 : 4).
Pembahasan realitas common sense Schutz ini memberi Garfinkel suatu perspektif melaksanakan studi etnometodologi sekaligus sebagai dasar teoritis bagi riset-riset etnometodologi lainnya (Poloma, 1994 : 284)
Pandangan Schutz tentang dunia sehari-sehari sebagai dunia intersunjektif yang dimiliki bersama melalui proses interaksi ini senada dengan interaksionisme-simbolik yang diperkenalkan Herbert Mead. Interaksionisme-simbolik berasumsi bahwa proses interaksi antar manusia dalam masyarakat dilangsungkan dengan simbol-simbol atau tanda. Simbol atau tanda yang hadir dalam interaksi tersebut lalu dimaknai bersama oleh mereka yang terlibat dalam interaksi tersebut. Pemaknaan ini diperoleh dengan proses tafsir berdasarkan situasi atau konteks sosial di mana interaksi itu terjadi. Asumsi itu setara dengan pendirian pokok dari etnometodologi yang hendak mengungkapkan dunia sosial berdasarkan makna akal sehat yang diterima oleh setiap individu dari situasi sosial di mana mereka hidup.
Sementara pengaruh Parsons dalam etnometodologi adalah teori aksi/tindakan yang diperkenalkan oleh Parsons. Dalam teori tindakannya, Parson berpendapat bahwa motivasi yang mendorong suatu tindakan individu selalu berdasarkan pada aturan atau norma yang ada dalam masyarakat di mana seorang individu hidup. Motivasi aktor tersebut menyatu dengan model-model normatif yang ditetapkan dalam sebuah masyarakat yang ditujukan untuk mempertahankan stabilitas sosial itu sendiri. Asumsi Parson ini senada dengan dengan pendirian etnometodologi, terutana dari Garfinkel dan Douglas yang mengatakan bahwa seseorang di dalam menetapkan sesuatu apakah tindakan/perilaku, bahasa, respon atau reaksi selalu didasarkan pada apa yang sudah diterima sebagai suatu kebenaran bersama dalam masyarakat (common sense)
Etnometodologi dalam keseluruhan studi sosiologi sendiri sekalipun diangap sebagai bentuk kritik terhadap pendekatan-pendekatan sosiologi konvesional tetap saja tidak melepaskan diri dari pendekatan-pendekatan sosiologi terdahulu. Keungglan etnometodologi sendiri adalah bahwa pendekatan studi ini secara radikal membiarkan setiap situasi berbicara tentang dirinya tanpa melakukan intervensi perspektif (ilmiah) seorang peneliti ke dalamnya. Etnometodologi sendiri skeptis terhadap setiap defenisi mengenai dunia sosial yang dibuat oleh sosiologi. Etnometodologi membebaskan setiap situasi untuk mendefenisikan dirinya sendiri. Seorang etnomotolog di dalam menghadapi realitas hanya bisa melihat dan mendengar lalu melukiskan apa yang sedang terjadi di sana.
II.3. Etnometodologi dalam Metode Penelitian Kualitatif
Metodologi (penelitian) secara luas didefenisikan sebagai proses, prinsip serta prosedur yang digunakan oleh seorang peneliti untuk mendekati masalah atau mencari jawab atas masalah tersebut. Terdapat dua perpektif pokok dalam ilmu sosial yaitu positivisme dan fenomenologi. Postivisme, terutama dari Auguste Comte dan Emile Durkheim adalah paham yang ingin mencari fakta atau sebab-musabab sebuah gejala sosial dengan tidak mempertimbangkan keadaan subjektif individu. Fakta sosial atau gejala sosial sebagaimana didefenisikan oleh Durkheim adalah sesuatu yang bersifat eksternal, di luar diri individu dan sekaligus mengatasi individu itu sendiri. Apa yang di sebut kebenaran oleh para penganut positivisme adalah fakta sosial itu sendiri dan bukannya apa yang dialami atau dirasakan oleh individu.
Sementara fenomenologi menekankan studi mereka pada individu itu sendiri. Fenomenologi berusaha memahami perilaku manusia dari kerangka berpikir pelaku itu sendiri. Jack Douglas, seorang etnometodolog menuliskan bahwa :
“kekuatan yang menggerakan manusia sebagai manusia bukan sebagai badan yang wagag... adalah sesuatu yang berarti. Kekuatan-kekuatan itulah yang disebut gagasan, perasaan dan motif yang internal.” (sebagaimana yang dikutip Furchan, 1992 :18).
Perbedaan paradigma ini kemudian serta-merta mempengaruh metodologi yang dipakai oleh masing-masing aliran terebut. Kaum positivis di dalam studi atau penelitiannya dilalui dengan metode kuesioner, survei, inventori yang menghasilkan data kuantitatif. Sebaliknya kaum fenomenologis mencari pemahaman lewat metode kualitatif lewat metode participant observation, open-ended interviewing dan dokumen pribadi. Terdapat anggapan bahwa penelitian yang dilakukan terhadap keluarga dan komunitas di Eropa oleh Frederick LePlay pada abad XIX adalah asal mula penelitian kualitatif. Akan tetapi penggunaan metode kualitatif sendiri menjadi populer di dunia sosiologi Amerika yang dipelopori oleh Sekolah Chicago.
Metode kualitatif seperti yang didefenisikan oleh Bogdan dan Tylor adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskritif : ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari orang-orang (subjek) itu sendiri. Pendekatan ini langsung menunjukkan setting dan individu-individu dalam setting itu secara keseluruhan, individu dalam batasan yang sangat holistik (Furchon, 1992 : 19-20 & Maleong, 2004 : 4). Sementara Jane Richie mendefenisikan penelitian kualitatif sebagai upaya untuk menyajikan dunia sosial, dan perspektif-perspektif di dalam dunia, dari segi konsep, perilaku, persepsi dan persoalan tentang manusia yang diteliti (Maleong, 2004 : 6). Dan Maleong sendiri membatasi penelitian kualitatif sebagai penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian seperti perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain secara holstik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Maleong, 2004 : 6)
Defenisi Maleong ini tegas menghantar kita untuk melihat hubungan antara penelitian kualitatif fan etnometodogi. Etnometodologi sebagai studi tentang praktek sosial keseharian yang diterima secara taken for granted, sebagai pengungkapan terhadap dunia akal sehat, dunia yang digeluti individu dalam kesehariannya jelas memiliki hubungan yang erat sekali dengan metode penelitian kualitatif itu sendiri. Dalam kerangka penelitian Kualitatif, etnometodologi diposisikan sebagai sebuah landasan teoritis dalam metode tersebut ( Maleong, 2004, 14, 24). Etnometodologi sebagai sebuah studi pada dunia subjektif, tentang kesadaran, persepsi dan tindakan individu dalam interaksinya dengan dunia sosial yang ditempatinya sesuai dengan pokok penelitian kualitatif yang juga menekankan pada dunia subjektif dengan setting sosial yang dilibatinya.
Comments
Post a Comment